Refleksi Cahaya dari Gaza : Menumbuhkan Empati dan Solidaritas Insani

  • Sep 10, 2024
  • Muhammad Farid

Oleh Muhammad Farid*

Di tengah hiruk-pikuk Kota Kudus dan masyarakat millenial yang sibuk dengan cita-citanya, sebuah pertunjukan mini teater berjudul "Cahaya dari Gaza: Pembelaan Perempuan dan Seruan Menghentikan Perang" mengangkat suara yang jarang terdengar di panggung-panggung besar. Dalam teater ini, lima perempuan tampil bukan hanya untuk berakting, tetapi untuk membagikan realitas pahit yang dialami oleh perempuan dan anak-anak di Gaza akibat konflik berkepanjangan.

Pentas ini seolah mengajak penontonnya untuk menatap jauh melewati batas-batas geografi dan politik yang sering kali membatasi empati kita. "Heii, lihatlah perang di Gaza. Butakah mata kalian terhadap apa yang terjadi di sana?," kata gadis bertubuh gempal sebagai pemeran utama. Ia memperlihatkan dengan tegas protesnya atas ketidakpedulian dunia internasional terhadap penderitaan yang terjadi di Gaza. Sebuah ungkapan protes yang dilandasi kesadaran mendalam atas ketidakadilan yang dialami, utamanya oleh perempuan-perempuan di Gaza, yang tidak pernah hidup layak.

Kehidupan mereka bukan hanya dirongrong oleh teror dan ketidakpastian, tetapi juga diwarnai oleh kehilangan dan kesedihan mendalam. "Tolong.. Tolong aku. Di mana ibuku?" adalah salah satu cuplikan dialog yang menyoroti tragedi individual di tengah kekacauan besar. Dialog itu bukan hanya mengekspresikan kesedihan seorang anak yang kehilangan orangtuanya, tetapi juga menggambarkan keruntuhan tatanan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan di Gaza.

“Tentara-tentara itu membawa ibuku. Mereka juga telah membunuh ayahku yang berusaha mempertahankan tanah kelahiran kami di Palestina. Siapa saja, tolong aku. Gaza membutuhkanmuuu….”

Di balik segala kepedihan getir yang membuka batin penonton, pertunjukan ini juga menyoroti memori masa lalu tentang Gaza yang penuh toleransi dan harmoni. "Dahulu, Gaza adalah surga bagi toleransi antar umat manusia. Beragam suku, budaya, agama dan tradisi hidup dalam harmoni, saling menyapa." Pernyataan ini menggambarkan kontras yang tajam antara masa lalu yang damai dan realitas terkini yang dilanda kekacauan. Ini bukan hanya sebuah refleksi sejarah, tetapi juga sebuah ajakan untuk mengingat dan merindukan masa ketika kemanusiaan bisa bernaung di bawah naungan toleransi.

Seperti di Indonesia, penonton seolah diajak untuk mengingat juga kondisi sosial-budaya dalam negeri. Penonton diajak merenungi kasus-kasus tragis yang telah terjadi berkaitan dengan perempuan dan anak. Kasus Vina Cirebon misalnya, disoroti pula untuk membuka mata betapa kejinya manusia bila tidak memiliki empati terhadap sesamanya.

Rasa empati adalah nilai yang paling ditekankan untuk dipahami bersama dalam pertunjukan berdurasi 30an menit ini. Melalui pertunjukan ini pula, penonton diingatkan bahwa konflik yang tampaknya jauh dari kehidupan sehari-hari kita memiliki dampak yang mendalam dan universal.

Pentas ini menjadi ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan untuk muncul ke permukaan. Dalam setiap dialog dan ekspresi para pemainnya, tersimpan pesan mendalam bahwa ketidakadilan yang menimpa perempuan dan anak-anak di Gaza adalah sebuah krisis kemanusiaan yang memerlukan perhatian dan tindakan kita semua.

Selain itu, teater ini juga memberikan ruang bagi refleksi pribadi dan kolektif kita sebagai penonton. Apakah kita, dalam keseharian kita yang nyaman, cukup peduli terhadap penderitaan yang terjadi di belahan dunia lain? Apakah kita cukup memberikan perhatian dan dukungan untuk menghentikan kekacauan yang menimpa mereka yang paling rentan?

"Cahaya dari Gaza" bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi sebuah panggilan untuk bertindak, untuk merasakan, dan untuk berempati. Ini adalah seruan untuk menghentikan perang dan menyadari bahwa di tengah gelapnya konflik, masih ada cahaya harapan yang bisa kita ciptakan melalui tindakan dan solidaritas kita bersama. Sebuah cermin yang menampilkan wajah kemanusiaan kita, yang sering kali tersembunyi di balik ketidakpedulian dan kesibukan sehari-hari kita sebagai warga. Tak saling peduli, tak saling menyapa. Semoga Indonesia baik-baik saja, senantiasa. []

 

*) Manajer Program, Kampung Budaya Piji Wetan, Kudus